Senin, 05 Oktober 2015

Berguru pada Semut

Malu aku malu pada semut merah yang berbaris didinding menatapku curiga, seakan penuh Tanya sedang apa apa disini?Membaca Quran Jawabku,,hahahaha ( Malah nyanyi)
Oke Guys pada edisi kali ini, sedikit akan saya berikan sebuah kisah, yang mana kisah ini juga saya dapatkan ketika sedang membaca buku, “Prophetic Learning” Karya Ust.Dwi Budiyanto,
Jujur ini buku ini bagi saya, inspiratif sekali, bisa merubah paradigman bagi yang membacanya.
Beliau mnegisahkan : Marilah kita berguru kepada semut . Al Quran memberi perhatian khusus terhadap semut. Bahkan surat ke 27 dalam Al-Quran dinamakan sebagai surat An-Naml atau surat semut. Uraian semut dalam Al-Quran berkaitan dengan kehadiran nabi Sulaiman AS bersama pasukan beliau menelusuri jalan tempat koloni semut. Ratu semut lalu menginformasikan bahaya itu kepada masyarakatnya , Sebagaimana dikisahkan dalam Al-Quran
“Hingga apabila mereka di lembah semut berkatalah seekor semut,”Hai semut semut masuklah ke dalam sarang sarangmu, agar kamu tidak diinjak Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadarinya”
Sejumlah pakar menjelaskan bahwa semut memiliki koloni yang memiliki system kehiudpan social yang sangat canggih,Ada koloni yang dihuni 45.000 sarang yang saling berhubungan dalam wilayah seluas 2,7 km persegi. Didalamnya hidup sekitar 1.080.000 semut ratu dan 306.000.000 semut pekerja! Hahahah Badala ( Red: Badala adalah ungkapan rasa takjub akan sesuatu :D). Tidak ada yang mendidik mereka berada dalam keteraturan itu selain Allah Azza wa Jalla
Sebagaimana Angsa , semut mengelola kehidupan koloni nya melalui kerja kerja sinergi yang luar biasa. Ada semut ratu yang bertugas dalam hal reproduksi koloni. Semuat jantan yang membuahinya mati , begitu melaksanakan tugas pembuahan
Ada semut pekerja yang merupakan semut betina yang steril .Mereka bertugas merawat bayi-bayi semut , membersihkan dan memberi makan.Jika musim paceklik , semut pekerja memberi makan pada sesamanya .Mereka memberi partikel makanan yang berasal dari tubuhnya.
Ada juga semut yang bertugas membangun koloni dan menemukan lokasi tempat tinggal dan berburu . Semut jenis ini  juga berperan dalam pertahanan dan keamanan koloni. Jika ada burung yang mendekati sarang, mereka mengarahkan perut menutupi lubang sarang dan menyemprotkan zat asam ke arah burung . Sistem pertahanan lain yang dimiliki semut adalah menutup lubang sarang dengan kepala-kepala semut apabila ada bahaya yang mengancam
Semut juga memiliki keunikan yang lain.Mereka membangun jalan-jalan panjang secara bersama sama. Beban yang berat akan menjelaskan bahwa kelompok kelompok semut menentukan waktu-waktu tertentu untuk bertemu bertukar makanan. Luar biasa! Subhanallah
(WS)

Sabtu, 03 Oktober 2015

Ketika Angsa Mengepakkan Sayap

Ini merupakan inspirasi yang saya dapatkan ketika membaca buku “Propethic Learning” Karya Ust.Dwi Budiyanto, Semoga dapat menjadikan inspirasi bagi kita semua. Mungkin ini sedikit pengingatan bagi kita semua.Mengapa berjamaah itu penting? karna berjamaah lebih baik dari pada sendiri,  ada kalanya kita kecewa kepada saudara kita, hal itu wajar. Tapi dibalik kekecewaan kita, mereka masih bersedia menemani kita dalam jalan dakwah ini.Doakan mereka, Doakan mereka,Sekali lagi doakan mereka, barangkali kita kecewa karna kita masih belum memahami kenapa saudara kita melakukan hal yang membuat kita kecewa.  
“Dan apakah mereka tidak memperhatikan burung burung yang mengembangkan dan mengatupkan sayapnya diatas mereka? Tidak ada yang menahanya (di udara) selain yang Maha Pemurah. Sesungguhny ia Maha Melihat segala sesuatu” QS.Al Mulk :19
Mari kita perhatikan perilaku sekawanan angsa
Sekawanan angsa selalu terbang menuju daerah yang lebih hangat dengan membentuk formasi V. Mereka bermigrasi dari daerah dingin. Harun yahya dalam bukunya Menyingkap Rahasia Alam Semesta menjelaskan bahwa ada sinergi yang dahsyat dalam cara mereka terbang
Terbang dengan formasi ini, ternyata menambah daya terbang mereka. Beberapa pakar menjelaskan bahwa mereka mampu terbang 71 persen lebih jauh ketimbang kalau masing masing burung terbang sendiri.Dietrich O.Hummel, seorang insinyur penerbangan , telah membuktikan bahwa dengan pengaturan seperti ini, secara umum kelompok tersebut dapat menghemat energi 23 persen
Jika angsa bagian depan letih, ia akan pindah kebelakang dan membiarkan angsa lain memimpin.Setiap kali angsa keluar dari formasinya, dia akan mengalami daya tahan udara yang besar dan kesulitan terbang sendiri. Akhirnya , ia akan kembali dalam formasi
Angsa angsa itu juga bersuara secara serempak saat terbang .Cara ini bertujuan memberikan semangat kelompok sekaligus memupuk angsa yang berada didepan. Dengan cara ini pula mereka memiliki ritme terbang yang sama
Jika ternyata ada angsa yang sakit atau letih dan keluar dari formasinya , dua angsa lain akan mengikutinya turun . Mereka akan melindungi dan menolong angsa yang keluar formasi itu. Dua angsa itu akan akan menunggui angsa sakit itu hingga sembuh atau mati. Lalu, mereka akan segera bergabung dalam formasi atau menciptakan formasi sendiri untuk menyusul kelompok terdahulu

Subhanallah!Rabbana ma khalaqta hadza batila.Sungguh luar biasa cerdas ! dengan membagi arus udara akibat kepakan sayapnya , bergilir memimpin, menciptakan motivasi kelompok dan dukungan bagi yang memimpin, menjaga untuk tetap berada dalam formasi, dan menolong yang terluka, angsa angsa itu mampu melakukan aktivitas berlipat lipat ketimbang kalau sendiri.(WS)

Senin, 28 September 2015

Jatuh Cinta

Sore itu nampak cahaya matahari bersinar kekuning kuningan, tanda bahwa sebentar lagi akan tenggelam, cahaya itu begitu indah.Seindah kau disana hehe. Entah mengapa sore ini kuputuskan untuk bermain di taman ini, hanya sendiri saja…ya, hanya sendiri (Suatu saat mungkin tidak :D ). Mungkin hati ini sedang galau, rasa rasanya ingin sendiri saja. Ada semacam gejolak yang luar biasa antara kau dan dia.
Taman urban forest ini sedikit saya tahu karna pada hari penyembelihan hewan quban, kami ( Pengurus sebuah lembaga islam) diajak ke tempat ini oleh adik adik binaan kami di TPA Thoriqul Jannah, Jagalan. Sangat nyaman tempatnya, taman yang didirikan di pinggiran bantaran sungai ini menjadi salah satu pesona yang nampak indah ketika sore hari. Hari itu bener bener saya rasakan hati ini sangat tenang, merenungi akan kekhilafan diri ini yang jauh dari kata “baik”

Sore itu seolah mengapa saya menjadi pujangga sejati, kuambil quran kemudian kubaca dengan penuh penghayatan, disamping saya ditemani oleh tarian rumput dengan irama angin yang membawanya.Terlihat lalu lalang motor yang menghiasi irama ini. Penggembala kambing yang bersantai sambil mengawasi hewan ternaknya mencari makan.Angin semilir tak henti hentinya merasuk didalam relung jiwa. Di Taman itu Nampak sepi, seperti hatiku yang sedang sepi.
Oh Allah hanya kepadaMu aku meminta ampunan. Entah dari mana datangnya , dalam beberapa hari ini rasa rasanya hati ini sedang begejolak. Rasa rasanya ingin selalu bersenandung cinta, yang ada dalam pikiran hanya kamu, kamu dan kamu. Ini yang membuat saya gundah,Apakah ini jatuh cinta? Apakah cinta selalu menyebabkan hal semacam ini? Selalu berangan angan tentang kamu?membuat energy ini hanya terkuras untuk memikirkanmu? Semakin mengingatmu hati ini menjadi kosong saja?
Yaa…Antara kamu dan Dia
Semakin gundah gulana hati ini, setiap bertemu pun pasti hati ini bergejolak, seolah ingin membuat diri menjadi 2 kepribadian, hanya yang baik baik saja yg ditampilkan, padahal banyak sisi negatif yang ada dalam diri. Meskipun masing masing diantara kami memiliki sebuah prinsip yang sama yaitu Ghodul Bashor (Jaga pandangan) dan Gak akan pacaran sampai dihalalkan ( Nikah). Intinya saat itu saya mencintainya dan belum tentu dia mencintaiku. Ini yang saya rasakan entah itu sebuah kekaguman terhadap dirinya, entah ini sebuah loyalitas yang ia tampilkan, entah ini sebuah kepedulian yang ia tonjolkan. Tetapi sisi yang lainya pun saya tidak tahu menahu, ini yang membuat saya jatuh cinta kepadanya, hanya sisi “baik” yang terlihat darinya.
Tapi mencintaimu membuat hati ini menjadi kosong. Apakah cinta semacam  ini yang menjauhkan saya dari ALLAH???

Karena setelah saya sadari ada 2 cinta yang bermain di hati ini, Cinta karena makhluk dan cinta karena Allah.
Ketika kita cinta hanya karena makhluk merugilah kita. Wajar saat seseorang lelaki suka terhadap wanita..bahkan Allah berfirman yang intinya “seolah dijadikan indah pada pandangan seorang lelaki terhadap wanita”. Hanya sebatas “seolah dijadikan indah, belum tentu indah bukan?. Terkadang ketika meilhat lawan jenis seolah olah dia adalah calon istri masa depan, didalam dirinya tersimpan sifat keibuan, Wajahnya menawan, Perangainya memukau..saya katakan “Pretttt”haha. Saya juga lelaki fren, jujur saja ketika kita melihat hal seperti itu “yang pertama bermain adalah NAFSU (dalam komteks cinta karena makhluk). Nafsu  menghalalkan segala cara untuk berbincang ala kadarnya. Mulai dari sekedar Chating yang berlebihan lewat media social, seperti WA, FB, BBM dll. Saya sangat yakin, ketika ada yang semcam itu hati akan menjadi kosong, seberapa banyak waktu yang kita habiskan untuk membaca pesan WhatsApp dibanding membaca Quran minimal 1 juz lah dalam sehari, itupun sering kita melalaikanya (NTMS)
Cinta karena Allah, apapun yang kita rasakan ketika itu kita sandarkan kepada Allah semuanya akan terlihat kecil, Ingat ketika Ali Ra mengatakan” Dunia ini aku taruh ditanganku, bukan dihatiku”. Sebuah makna yang sangat filosofis. Karna yang ia cinta hanya Allah bukan dunia, sehingga hatinya tidak digerakan oleh dunia, tetapi dunia yang digerakan oleh hatinya. Ingat juga kah ketika Rasulallah tidur dirumah beliau hanya beralaskan pelepah kurma, sampai pipi beliau ada bekasnya, padahal beliau adalah pemimpin tertinggi umat islam, sampai sampai Umar bin Khattab mengangis melihat beliau dan berkata” Wahai rasulallah maukah kau kuambilkan kasur” Kemudian Rasulallah menjawab” Apalah dunia itu” . Ingatkah kau akan Umar bin Abdul Aziz sebelum menjadi khalifah, hidup glamour, hidup serba ada tetapi ketika beliau menjadi khalifah ia tinggalkan semua itu bahkan saat beliau memimpin tak ada rakyat yang layak mendapatkan zakat. Subhanallah
Itulah ketika dunia diletakan di tangan bukan di hati, seperti halnya dengan jatuh cinta kepada lawan jenis. Jadikan orang yang kita cintai di dunia hanya sebatas sedikit getaran cinta yang Allah berikan kepada kita. Dan pada saatnya kelak, jadikanlah kita siap untuk menikah bukan sekedar ingin menikah. Karna antara siap dan ingin sangat jauh berbeda. Terima ia apa adanya , meskipun ia bukan orang yg kau cinta saat di dunia, hadirkan Allah dalam cinta kalian maka bisa dipastikan sakinah mawadah wa rohmah akan kalian  dapatkan. Bismillah

Ditulis di Taman Urban Forest 28 Sept pukul 16.18

Wiwit Setiaji

Minggu, 27 September 2015

ABDULLAH BIN UMAR TEKUN BERIBADAH DAN MENDEKATKAN DIRI KEPADA ALLAH

Sewaktu telah berada di puncak usianya yang tinggi, ia ber­bicara:Saya telah bai’at kepada Rasulullah saw Maka sampai saat ini, saya tak pernah belot atau mungkir janji . . . . Dan saya tak pernah bai’at kepada pengobar fitnah …. Tidak pula membangunkan orang Mu’min dari tidur­nya….
Dalam kalimat-kalimat di atas tersimpul secara ringkas tapi padat kehidupan seorang laki-laki shalih yang lanjut usia, me­lebihi usia 80 tahun, dan telah memulai hubungannya dengan Rasulullah dan Agama Islam semenjak berusia 13 tahun, yaitu ketika ia ingin menyertai ayahandanya dalam Perang Badar, dengan harapan akan beroleh tempat dalam deretan para pejuang, kalau tidak ditolak oleh Rasulullah disebabkan usianya yang masih terlalu muda ….
semenjak saat itu bahkan sebelumnya lagi, yakni ketika ia menyertai ayahandanya dalam hijrahnya ke Madinah, hubung­an anak yang cepat matang kepribadiannya itu dengan Rasul­ullah dan Agama Islam, telah mulai terjalin
Dan semenjak hari itu, sampai saat ia menemui Allah, yakni setelah ia mencapai usia 85 tahun, akan kita dapati ia sebagaimana adanya; seorang yang tekun beribadat dan mendekatkan diri kepada Allah, dan tak hendak bergeser dari pendiriannya walau agak seujung rambut, serta tak hendak menyimpang dari bai’at yang telah diikrarkannya atau melanggar janji yang telah diperbuatnya ….
Keistimewaan-keistimewaan yang memikat perhatian kita terhadap Abdullah bin Umar ini tidak sedikit. Ilmunya, kerendahan hatinya, kebulatan tekad dan keteguhan pendirian, keder­mawanan keshalihan dan ketekunannya dalam beribadah serta berpegang teguhnya kepada contoh yang diberikan oleh Rasulullah. Semua sifat dan keutamaan itu telah berjasa dalam menempa kepribadiannya yang luar biasa dan kehidupannya yang suci lagi benar ….
Dipelajarinya dari bapaknya — Umar bin Khatthab — berbagai macam kebaikan; dan bersama bapaknya itu, dipelajarinya pula dari Rasulullah semua macam kebaikan dan semua macam kebesaran . . . . Sebagaimana bapaknya, ia pun telah berhasil mencapai keimanan yang baik terhadap Allah dan Rasul-Nya. Dan oleh karena itu, kesetiaannya mengikuti jejak langkah Rasulullah, merupakan suatu hal yang amat mena’jubkan ….
Diperhatikannya apa kiranya yang dilakukan oleh Rasul­ullah mengenai sesuatu urusan, maka ditirunya secara cermat dan teliti . . . . Misalnya Rasulullah saw pernah melakukan shalat di suatu tempat, maka Ibnu Umar melakukannya pula di tempat itu. Di tempat lain umpamanya Rasulullah saw. pernah berdo’a sambil berdiri, maka Ibnu Umar berdo’a di tempat itu sambil berdiri pula. Di sana Rasulullah pernah berdo’a sambil duduk, maka Ibnu Umar berdo’a di sana sambil duduk pula. Di sini — di jalan ini — Rasulullah pernah turun dari punggung untanya pada suatu hari dan melakukan shalat dua raka’at, maka Ibnu Umar tak hendak ketinggalan melakukannya, jika dalam perjalanannya ia kebetulan lewat di daerah itu dan tempat itu.
Bahkan ia takkan lupa bahwa unta tunggangan Rasulullah berputar dua kali di suatu tempat di kota Mekah sebelum Rasulullah turun dari atasnya untuk melakukan shalat dua raka’at, walaupun barangkali unta itu berkeliling dengan suatu maksud untuk mencari tempat baginya yang cocok untuk bersimpuh nanti. Tapi Abdullah ibnu Umar baru saja sampai di tempat itu, ia segera membawa untanya berputar dua kali kemudian baru bersimpuh, dan setelah itu ia shalat dua raka’at, sehingga persis sesuai dengan perbuatan Rasulullah yang telah disaksikannya … !
Kesetiaannya yang amat sangat dalam mengikuti jejak langkah Rasulullah ini, telah mengundang pujian dari Ummul Mu’- minin ‘Aisyah r.a. sampai ia mengatakan:
“Tak seorang pun mengikuti jejak langkah Rasulullah saw. di tempat-tempat pemberhentiannya, sebagai dilakukan oleh Ibnu Umar …
Sungguh, usia lanjutnya yang dipenuhi barkah itu telah dijalaninya untuk membuktikan kecintaannya yang mendalam terhadap Rasulullah, hingga pernah terjadi suatu masa, Kaum Muslimin yang shalihnya berdo’a: “Ya Allah, lanjutkanlah kiranya usia Ibnu Umar sebagai Allah melanjutkan usiaku, agar aku dapat mengikuti jejak langkahnya, karena aku tidak mengetahui seorang pun yang menghirup dari sumber pertama selain Abdullah bin Umar.
Dan karena kegemarannya yang kuat tak pernah luntur dalam mengikuti sunnah dan jejak langkah Rasulullah, maka Ibnu Umar bersikap amat hati-hati dalam penyampaian Hadits dari Rasulullah. la tak hendak menyampaikan sesuatu Hadits daripadanya, kecuali jika ia ingat seluruh kata-kata Rasulullah.
Orang-orang yang semasa dengannya mengatakan: “Tak seorang pun di antara shahabat -shahabat Rasulullah yang lebih berhati-hati agar tidak terselip atau terkurangi seluruh pun dalam menyampaikan Hadits Rasulullah sebagai halnya Ibnu Umar!”
Demikian pula dalam berfatwa, ia amat berhati-hati dan lebih suka menjaga diri . . . . Pada suatu hari seorang penanya datang kepadanya untuk meminta fatwa. Dan setelah orang itu memajukan pertanyaan, Ibnu Umar menjawab “Saya tak tahu tentang masalah yang anda tanyakan itu . . .” Orang itu pun berlalulah, dan baru beberapa langkah ia meninggalkannya, Ibnu Umar bertepuk tangan seraya berkata dalam hatinya: “Ibnu Umar ditanyai orang tentang yang tidak diketahuinya, maka dijawabnya bahwa ia tidak tahu . . .”
Ia tidak hendak berijtihad untuk memberikan fatwa, karena takut akan berbuat kesalahan. Dan walaupun pola hidupnya mengikuti ajaran dari suatu Agama besar, yang menyediakan satu pahala bagi orang-orang yang tersalah dan dua pahala bagi yang benar hasil ijtihadnya, tetapi demi menghindari berbuat dosa menyebabkannya tidak berani untuk berfatwa Juga ia menghindarkan diri dari jabatan qadli atau kehakiman, padahal jabatan ini merupakan jabatan tertinggi di antara jabatan kenegaraan dan kemasyarakatan; di samping menjamin pemasukan keuangan, diperolehnya pengaruh dan kemuliaan. Apa perlunya kekayaan, pengaruh dan kemuliaan itu bagi Ibnu Umar… !
Pada suatu hari Khalifah Utsman r.a. memanggilnya dan meminta kesediaannya untuk memegang jabatan kehakiman itu, tetapi ditolaknya. Utsman mendesaknya juga, tetapi Ibnu Umar bersikeras pula atas penolakannya. “Apakah anda tak hendak menta’ati perintahku?” tanya Utsman. Jawab Ibnu Umar:
“Sama sekali tidak . . . , hanya saya dengar para hakim itu ada tiga macam:
Pertama hakim yang mengadili tanpa ilmu, maka ia dalam neraka. Kedua yang mengadili berdasarkan nafsu, maka ia juga dalam neraka. Dan ketiga yang berijtihad sedang hasil ijtihadnya betul, maka ia dalam keadaan berimbang, tidak berdosa tapi tidak pula beroleh pahala. Dan saya atas nama Allah memohon kepada anda agar dibebaskan dari jabatan itu . .
Khalifah Utsman menerima keberatan itu setelah mendapat jaminan bahwa ia tidak akan menyampaikan hal itu kepada siapa pun juga. Sebabnya ialah karena Utsman menyadari sepenuhnya kedudukan Ibnu Umar dalam hati masyarakat, karena jika orang-orang yang taqwa lagi shalih mengetahui keberatan Ibnu Umar menerima jabatan tersebut pastilah mereka akan mengikuti langkahnya, sehingga khalifah takkan menemukan seorang taqwa yang bersedia menjadi qadli atau hakim.
Mungkin pendirian Abdullah bin Umar ini tampaknya sebagai suatu hal negatif yang terdapat pada dirinya. Tetapi tidaklah demikian halnya! Ibnu Umar tidak akan menolak jabatan tersebut apabila tidak ada lagi orang lain yang pantas menduduki jabatan itu, karena masih banyak di antara shahabat-shahabat Rasulullah yang shalih dan wara’ yang juga pantas memegang jabatan kehakiman dan mampu memberikan fatwa secara praktis maka ia menolaknya.
Maka dengan penolakannya itu tidaklah akan menyebabkan lowongnya kursi jabatan tersebut atau mengakibatkannya jatuh ke tangan orang-orang yang tidak berwenang. Telah tertanam dalam kehidupan pribadi Ibnu Umar untuk selalu membina dan meningkatkan diri agar lebih sempurna ketaatan dan ibadah­nya kepada Allah.
Apalagi bila dikaji kehidupan Agama Islam di waktu itu, ternyata bahwa dunia telah terbuka pintunya bagi Kaum Muslimin, harta kekayaan melimpah ruah, pangkat dan kedudukan bertambah-tambah. Daya tarik harta dan kedudukan itu telah merangsang dan mempesona hati orang-orang beriman, menyebabkan bangkitnya sebagian shahabat Rasulullah — di antara­nya Ibnu Umar — mengibarkan bendera perlawanan terhadap rangsangan dan godaan itu. Caranya ialah dengan menyediakan diri mereka sebagai contoh teladan dalam zuhud dan keshalihan, menjauhi kedudukan-kedudukan tinggi, mengatasi fitnah dan godaannya ….
Boleh dikata bahwa Ibnu Umar adalah “Penyerta malam” yang biasa diisinya dengan melakukan shalat …. atau “kawan dinihari” yang dipakainya untuk menangis dan memohon di­ampuni. Di waktu remajanya ia pernah bermimpi yang oleh Rasulullah dita’birkan bahwa qiyamul lail itu nantinya akan menjadi campuran tumpuan cita Ibnu Umar, tempat tersangkutnya kesenangan dan kebahagiaannya. Nah, marilah kita dengar ceritera tentang mimpinya itu:
“Di masa Rasulullah saw. saya bermimpi seolah-olah di tanganku ada selembar kain beludru. Tempat mana saja yang saya ingini di surga, maka beludru itu akan menerbangkanku ke sana…
Lalu tampak pula dua orang yang mendatangiku dan ingin membawaku ke neraka. Tetapi seorang Malaikat menghadang mereka, katanya: Jangan ganggu! Maka kedua orang itu pun meluangkan jalan bagiku ….
Oleh Hafshah, yaitu saudaraku, mimpi itu diceriterakannya kepada Rasulullah saw. Maka sabda Rasulullah saw.:
“Akan menjadi laki-laki paling utamalah Abdullah itu, andainya ia sering shalat malam dan banyak melakukannya! “
Maka semenjak itu sampai ia pulang dipanggil Allah, Ibnu Umar tidak pernah meninggalkan qiyamul lail baik di waktu ia mukim atau musafir. Yang dilakukannya ialah shalat, membaca al-Quran dan banyak berdzikir menyebut nama Allah . . . , dan yang sangat menyerupai ayahnya ialah airmatanya bercucuran bila mendengar ayat-ayat peringatan dari al-Quran .
Berkata ‘Ubeid bin ‘Umeir: “Pada suatu hari saya bacakan ayat berikut ini kepada Abdullah bin Umar:
Betapakah bila Kami hadapkan dari setiap ummat seorang saksi, dan Kami hadapkan pula kamu sebagai saksi atas mereka semua . . . ? Padahari itu orang-orang kafir dan yang mendurhakai Rasul berharap kiranya mereka ditelan bumi, dan tiada pula suatu pembicaraan pun yang dapat mereka sembunyikan dari Allah … ! “
(Q.S. 4 an-Nisa: 41 — 42)
Maka Ibnu Umar pun menangis, hingga janggutnya basah oleh airmata. Pada suatu hari ketika ia duduk di antara kawan­-kawannya, lalu membaca:
Maka celakalah orang-orang yang berlaku curang dalam takaran! Yakni orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain meminta dipenuhi, tetapi mengurangkannya bila mereka yang menakar atau menimbang untuk orang lain. Apakah mereka merasa bahwa mereka akan di­bangkitkan nanti menghadapi suatu hari yang dahsyat… , yaitu ketika manusia sama berdiri di hadapan Tuhan Rabbul ‘alamin … (Q.S. 83 at-Tathfif: 1— 6).
Terus saja ia mengulang-ulang ayat:
Ketika manusia sama berdiri di hadapan Rabbul ‘alamin
sedang airmatanya mengucur bagai hujan …. hingga akhirnya ia jatuh disebabkan duka dan banyak menangis itu ….
Kemurahan, sifat zuhud dan wara’ bekerja sama pada dirinya dalam suatu paduan seni yang agung membentuk corak kepri­badian mengagumkan dari manusia besar ini . . . . Ia banyak memberi karena ia seorang pemurah . . . . Yang diberikannya ialah barang halal karena ia seorang yang wara’ atau shalih . . . . Dan ia tidak peduli, apakah kemurahannya itu akan menyebabkannya miskin karena ia zuhud, tidak ada minat terhadap dunia….
Ibnu Umar termasuk orang yang hidup ma’mur dan berpenghasilan banyak. Ia adalah seorang saudagar yang jujur dan berhasil dalam sebagian besar dari kehidupannya. Di samping itu gaji­nya dari Baitulmal tidak sedikit pula: Tetapi tunjangan itu tidak sedikit pun disimpannya untuk dirinya pribadi, tetapi dibagi-bagikan sebanyak-banyaknya kepada orang-orang miskin, yang kemalangan dan peminta-minta.
Ayub bin Wa-il ar-Rasibi pernah menceriterakan kepada kita salah satu contoh kedermawanannya. Pada suatu hari Ibnu Umar menerima uang sebanyak empat ribu dirham dan sehelai baju dingin. Pada hari berikutnya Ibnu Wa-il melihatnya di pasar sedang membeli makanan untuk hewan tunggangannya secara berutang. Maka pergilah Ibnu Wa-il mendapatkan keluarga­nya, tanyanya: Bukankah kemarin Abu Abdurrahman — maksud­nya Ibnu Umar — menerima kiriman empat ribu dirham dan sehelai baju dingin? ” “Benar”, ujar mereka.
Kata Ibnu Wa-il: “Saya lihat ia tadi di pasar membeli makanan untuk hewan tunggangannya dan tidak punya uang untuk mem­bayarnya . . . “
Ujar mereka: “Tidak sampai malam hari, uang itu telah habis dibagi-bagikannya. Mengenai baju dingin, mula-mula dipakainya, lalu ia pergi ke luar. Tapi ketika kembali, baju itu tidak kelihatan lagi; dan ketika kami tanyakan, jawabnya bahwa baju itu telah diberikannya kepada seorang miskin . ! “
Maka Ibnu Wa-il pun pergilah sambil menghempas-hempaskan kedua belah telapak tangannya satu sama lain, dan pergi menuju pasar. Di sana ia naik ke suatu tempat yang tinggi dan berseru kepada orang-orang pasar, katanya: “Hai kaum pedagang …! Apa yang tuan-tuan lakukan terhadap dunia . . . .? Lihat Ibnu Umar, datang kiriman kepadanya sebanyak empat ribu dirham, lalu dibagi-bagikannya hingga esok pagi ia membelikan hewan tunggangannya makanan secara utang . . .! “
Memang, seorang yang gurunya Muhammad saw. dan bapak­nya Umar, adalah seorang yang luar biasa dan cocok untuk hal-hal istimewa . . Sungguh, kedermawanan, sifat zuhud dan wara’, ketika unsur ini membuktikan secara gamblang, bagaimana Abdullah bin Umar menjadi seorang pengikut terpercaya dan seorang putera teladan ….
Bagi orang yang ingin melihat kesetiaannya mengikuti jejak langkah Rasulullah, cukuplah bila diketahuinya bahwa Ibnu Umar akan berhenti dengan untanya di suatu tempat itu, karena pada suatu hari dilihatnya Rasulullah berhenti dengan untanya di tempat itu, seraya katanya: “Semoga setiap jejak akan menimpa di atas jejak sebelumnya … !”
Begitu pula dalam baktinya kepada orang tua, penghormatan dan kekagumannya, Ibnu Umar mencapai suatu taraf yang mengharuskan agar kepribadian Umar itu diteladani oleh pihak musuh, apatah lagi oleh kaum kerabat, dan kononlah oleh putera-­putera kandungnya sendiri … !
Terlintas pada kita: Tiada masuk akal, orang yang mengaku sebagai pengikut Rasul ini dan penganut ayah yang terkenal al-Faruk . . . , akan menjadi budak atau hamba harta . . . . Memang harta itu datang kepadanya secara berlimpah ruah . . . , tetapi ia hanya sekedar lewat, atau mampir ke rumahnya sebentar saja … !
Dan kedermawanan ini, baginya bukanlah sebagai alat untuk mencari nama, atau agar dirinya menjadi buah bibir dan sebutan orang. Oleh sebab itu pemberiannya hanya ditujukannya kepada fakir miskin dan yang benar-benar membutuhkan. Jarang sekali makan seorang diri, karena pasti disertai oleh anak-anak yatim dan golongan melarat. Sebaliknya ia seringkali memarahi dan menyalahkan sebagian putera-puteranya, ketika mereka menyediakan jamuan untuk orang-orang hartawan, dan tidak mengundang fakir miskin, katanya: “Kalian mengundang orang­orang yang dalam kekenyangan, dan kalian biarkan orang-orang yang kelaparan!”
Dan fakir miskin itu kenal benar siapa Ibnu Umar, mengetahui sifat santunnya dan merasakan akibat kedermawanan dan budi baiknya. Sering mereka duduk di jalan yang akan dilaluinya pulang, dengan maksud semoga tampak olehnya hingga dibawanya ke rumahnya. Pendeknya mereka berkumpul sekelilingnya tak ubah bagai kawanan lebah yang berhimpun mengerumuni kembang demi untuk menghisap sari madunya … !
Bagi Ibnu Umar harta itu adalah sebagai pelayan, dan bukan sebagai tuan atau majikan! Harta hanyalah alat untuk mencukupi keperluan hidup dan bukan untuk bermewah-mewahan. Dan hartanya itu bukanlah miliknya semata, tapi padanya ada bagian tertentu haq fakir miskin, jadi merupakan hak yang serupa tak ada hak istimewa bagi dirinya.
Kedermawanan yang tidak terbatas ini disokong oleh sifat zuhudnya. Ibnu Umar tak hendak membanting tulang dalam mencari dan mengusahakan dunia. Harapan dari dunia itu hanya­lah hendak mendapatkan pakaian sekedar penutup tubuhnya dan makanan sekedar penunjang hidup.
Salah seorang shahabatnya yang baru pulang dari Khurasan menghadiahkan sehelai baju halus yang indah kepadanya, serta katanya: “Saya bawa baju ini dari Khurasan untukmu! Dan alangkah senangnya hatiku melihat kamu menanggalkan pakaian­mu yang kasar ini, lalu menggantinya dengan baju baru yang indah ini!”
“Coba lihat dulu”, jawab Ibnu Umar. Lalu dirabanya baju itu dan tanyanya: “Apakah ini sutera?” “Bukan”, ujar kawannya itu, “itu hanya katun”. Ibnu Umar mengusap-usap baju itu sebentar, kemudian diserahkannya kembali, katanya: “Tidak, saya khawatir terhadap diriku … ! Saya takut ia akan menjadi­kan diriku sombong dan megah, sedang Allah tidak menyukai orang-orang sombong dan bermegah diri … I “
Pada suatu hari, seorang shahabat memberinya pula sebuah kotak yang berisi penuh.
“Apa isinya ini … ?”, tanya Ibnu Umar.
Jawab shahabatnya: “Suatu obat istimewa, saya bawa untukmu dari Irak!”
“Obat untuk penyakit apa”, tanya Ibnu Umar pula.
“Obat penghancur makanan untuk membantu pencernaan”.
Ibnu Umar tersenyum, katanya kepada shahabat itu: “Obat penghancur makanan . . . ? Selama empat puluh tahun ini saya tak pernah memakan sesuatu makanan sampai kenyang … !”
Nah, seseorang yang tak pernah makan sampai kenyang selama 40 tahun bukanlah maksudnya hendak menjauhi ke kenyangan itu semata, tetapi pastilah karena zuhud dan wara’- nya, serta usahanya hendak mengikuti jejak langkah Rasulullah dan bapaknya! Ia cemas akan dihadapkan pada hari qiamat dengan pertanyaan sebagai berikut: Telah kamu habiskan segala keni’matan di waktu hidupmu di dunia, kamu bersenang-senang dengannya! Ia menyadari bahwa di dunia ini ia hanyalah tamu atau seorang musafir lalu . . . Dan pernah ia berceritera tentang dirinya, katanya: “Tak pernah saya membuat tembok dan tidak pula menanam sebatang kurma semenjak wafatnya Rasulullah saw.
Berkata Maimun bin Mahran: “Saya masuk ke rumah Ibnu Umar dan menaksir harga barang-barang yang terdapat di sana berupa ranjang, selimut, tikar . . . , pendeknya apa juga yang terdapat di sana, maka saya dapati harganya tidak sampai seratus dirham . . . !” Dan demikian itu bukanlah karena kemiskinan, karena Ibnu Umar adalah seorang kaya … ! Bukan pula karena kebakhilan, karena ia seorang pemurah dan dermawan . . .! Sebabnya tidak lain hanyalah karena ia seorang zahid tidak terpikat oleh dunia, tidak suka hidup mewah dan tak senang menyimpang dari kebenaran dan keshalihan dalam menempuh hidup ini.
Ibnu Umar dikaruniai umur panjang dan mengalami masa Bani Umaiyah, di mana harta melimpah ruah, tanah tersebar luas dan kemewahan meraja-lela di kebanyakan rumah, bahkan katakanlah di mahligai-mahligai dan istana-istana . . .! Tapi walau demikian, namun gunung yang mulia ini tetap tegak dan tak tergoyahkan, tak hendak beranjak dari tempatnya dan tak hendak bergeser dari sifat wara’ dan zuhudnya.
Dan bila disebut orang kebahagiaan dunia dan kesenangan­nya yang dihindarinya itu, ia berkata: “Saya bersama shahabat­-shahabatku telah sama sepakat atas suatu perkara, dan saya khawatir jika menyalahi mereka, takkan bertemu lagi dengan mereka untuk selama-lamanya
Dan kepada yang lain diberitahukannya bahwa ia meninggal­kan dunia itu bukanlah disebabkan ketidak mampuan; ditadah­kannya kedua tangannya ke langit, katanya; “Ya Allah, Engkaumengetahui bahwa kalau tidaklah karena takut kepada-Mu, tentulah kami akan ikut berdesakan dengan bangsa kami Quraisy memperebutkan dunia ini. .
Benar … ! Seandainya ia tidak takut kepada Allah, tentulah ia akan ikut merebut dunia dan tentulah ia akan berhasil. Tetapi ia tidak perlu berebutan, karena dunia datang sendiri kepadanya, merayunya dengan berbagai kesenangan dan daya perangsang­nya….
Adakah lagi yang lebih menarik dari jabatan khalifah? Ber­kali-kali jabatan itu ditawarkan kepada Ibnu Umar, tetapi ia tetap menolak. Bahkan ia pernah diancam jika tak mau me­nerimanya, tetapi pendiriannya semakin teguh dan penolakannya semakin kerns lagi …
Berceritakan Hasan r.a.:
“Tatkala Utsman bin Affan dibunuh orang, ummat me­ngatakan kepada Abdullah bin Umar: “Anda adalah seorang pemimpin, keluarlah, agar kami minta orang-orang bai’at pada anda!’ Ujarnya: ‘Demi Allah? seandainya dapat, janganlah ada walau setetes darah pun yang ter­tumpah disebabkan daku!’ Kata mereka pula: ‘Anda harus keluar! Kalau tidak akan kami bunuh di tempat tidurmu!’ Tetapi jawaban Ibnu Umar tidak berbeda dengan yang pertama. Demikianlah mereka membujuk dan mengancam­nya, tetapi tak satu pun hasil yang mereka peroleh . . . .!”
Dan setelah itu, ketika masa telah berganti masa dan fitnah telah menjadi-jadi, Ibnu Umar tetap merupakan satu-satunya harapan. Orang-orang mendesaknya agar sedia menerima jabatan khalifah dan mereka akan bai’at kepadanya, tetapi ia selalu menolak. Penolakan ini menyebabkan timbulnya masalah yang ditujukan kepada Ibnu Umar. Tetapi ia mempunyai logika dan alasan pula.
Sebagai dimaklumi setelah terbunuhnya Utsman r.a. keadaan tambah memburuk dan berlarut-larut yang akan membawa ben­cana dan malapetaka. Dan walaupun ia tidak mempunyai ambisi untuk jabatan khalifah tersebut, tetapi Ibnu Umar bersedia memikul tanggung jawab dan menanggung resikonya dengan syarat ia dipilih oleh seluruh Kaum Muslimin dengan kemauan sendiri tanpa dipaksa. Adapun jika bai’at itu dipaksakan oleh sebagian atas lainnya di bawah ancaman pedang, maka inilah yang tidak disetujui oleh Ibnu Umar, dan la menolak jabatan khalifah yang dicapai dengan cara seperti itu.
Dan ketika itu, syarat tersebut tidaklah mungkin. Bagai­manapun kebaikan Ibnu Umar dan kekompakan Kaum Muslimin dalam mencintai dan menghormatinya, tetapi luasnya daerah dan letaknya yang berjauhan, di samping pertikaian yang sedang berkecamuk di antara Kaum Muslimin, menyebabkan mereka terpecah-pecah kepada beberapa golongan yang saling berperang dan mengangkat senjata, maka suasana tidaklah memungkinkan tercapainya konsensus atau persesuaian yang diharapkan oleh Ibnu Umar itu.
Seorang laki-laki mendatanginya pada suatu hari, katanya: “Tak seorang pun yang lebih buruk perlakuannya terhadap ummat manusia daripadamu !”
“Kenapa ? , ujar Ibnu Umar;”demi Allah, tak pernah saya me­numpahkan darah mereka, tidak pula berpisah dengan jama’ah mereka apalagi memecah-belah kesatuan mereka!”
Kata laki-laki itu pula: “Andainya kamu mau, tak seorang pun yang akan menentang … !13
Jawab Ibnu Umar: “Saga tak suka kalau dalam hal ini seorang mengatakan setuju, sedang lainnya tidak!”
Bahkan setelah peristiwa berkembang sedemikian rupa, dan kedudukan Muawiyah telah kokoh, dan setelah itu beralih pula kepada puteranya Yazid . . . , lalu Muawiyah II putera Yazid setelah beberapa hari menduduki jabatan khalifah meninggalkan­nya karena tidak menyukainya. Sampai saat itu Ibnu Umar telah menjadi seorang tun berusia lanjut, ia masih menjadi harapan ummat untuk jabatan tersebut. Marwan datang kepadanya, katanya: “Ulurkanlah tangan anda agar kami bai’at! Anda adalah pemimpin Islam dan putera dari pemimpinnya!”
Ujar Ibnu Umar: “Apa yang kita lakukan terhadap orang-orang masyriq?”
“Kita gempur mereka sampai mau bai’at!”
“Demi Allah,”ujar Ibnu Umar Pula: “saya tak sudi dalam umur saya yang tujuh puluh tahun ini, ada seorang manusia yang terbunuh disebabkan saya …
Marwanpun pergi berlalu sambil berdendang:
“Api fitnah berkobar sepeninggal Abu Laila,
Dan kerajaan akan berada di tangan yang kuat lagi perkasa”.
Yang dimaksud dengan Abu Laila ialah Muawiyah bin Yazid.
Penolakan untuk menggunakan kekerasan dan alat senjata inilah yang menyebabkan Ibnu Umar tak hendak campur tangan dan bersikap netral dalam kekalutan bersenjata yang terjadi di antara pengikut Ali dan penyokong Muawiyah dengan mengambil kalimat-kalimat berikut sebagai semboyan dan prinsipnya:
“siapa yang berkata: ‘Marilah shalat!’ akan saya pe­nuhi….
Dan siapa yang berkata: ‘Marilah menuju kebahagiaan!’ akan saya turuti pula ….
Tetapi siapa yang mengatakan: ‘Marilah membunuh saudaramu seagama dan merampas hartanya!’ maka saya akan katakan tidak . . . .”
Hanya dalam sikap netral dan tak hendak campur tangan ini, Ibnu Umar tak mau membiarkan kebathilan. Telah lama sekali Mu’awiyah yang ketika itu berada di puneak kejayaannya melakukan tindakan-tindakan yang menyakitkan dan mem­bingungkannya, sampai-sampai Mu’awiyah mengancam akan membunuhnya. Padahal dia selalu bersemboyan: “Seandainya di antaraku dengan seseorang ada hubungan walau agak sebesar rambut, tidaklah ia akan putus … !”
Dan pada suatu hari Hajjaj’) tampil berpidato, katanya: “Ibnu Zubair telah merubah Kitabullah!”
Maka berserulah Ibnu Umar menentangnya: “Bohong bohong . . . . , kamu bohong . ! “
Hajjaj yang selama ini ditakuti oleh siapa pun juga, merasa terpukul mendapat serangan tiba-tiba ….Tetapi kemudian dia melanjutkan pembicaraan dengan mengancamnya akan memberi balasan yang seburuk-buruknya. Ibnu Umar mengacungkan tangannya ke muka Hajjaj, dan di hadapan orang-orang yang sama terpesona dijawabnya: “Jika ancamanmu itu kamu laksana­kan, maka sungguh tak usah heran, kamu adalah seorang diktator yang biadab!” Tetapi bagaimana juga keras dan beraninya, sampai akhir hayatnya Ibnu Umar selalu ingin agar tidak terlibat dalam fitnah bersenjata itu dan menolak untuk berpihak kepada salah satu golongan ….
Berkatalah Abul ‘Aliyah al-Barra:
“Pada suatu hari saya berjalan di belakang Ibnu Umar tanpa diketahuinya. Maka saya dengar ia berbicara kepada dirinya: ‘Mereka letakkan pedang-pedang mereka di atas pundak-pundak lainnya, mereka berbunuhan lalu berkata: “Hai Abdullah bin Umar ikutlah dan berikan bantuan . sungguh sangat menye­dihkan.”
la amat menyesal dan duka melihat darah Kaum Muslimin tertumpah oleh sesamanya. Dan sebagai kita baca dalam kata pengantar mengenai riwayatnya. ini, “tiadalah ia hendak mern­bangunkan orang Muslimin yang sedang tertidur”.
Dan sekiranya ia mampu menghentikan peperangan dan menjaga darah tertumpah pastilah akan dilakukannya, tetapi suasana ternyata tidak mengidzinkan, oleh sebab itu dijauhinya.
Sebetulnya hati kecilnya berpihak kepada Ali r.a., bahkan pada lahirnya Ibnu Umar yakin bahwa Ali r.a. di pihak yang benar, hingga diriwayatkan bahwa setelah ia menganalisa semua peristiwa dan situasi pada akhir hidupnya itu ia berkata: “Tiada sesuatu pun yang saya sesalkan karena tidak kuperoleh, kecuali suatu hal, aku sangat menyesal tidak mendampingi Ali dalam memerangi golongan pendurhaka . . .!”
Penolakannya berperang di pihak Ali yang sebenarnya mempertahankan haq dan berada di pihak yang benar, dilakukan­nya bukan dengan maksud hendak lari atau menyelamatkan diri,
tetapi adalah karena tidak setuju dengan semua perselisihan dan fitnah itu, serta menghindari peperangan yang terjadi bukan di antara Muslim dengan musyrik, tetapi antara sesama Muslimin yang saling menerkam saudaranya ….
Hal itu dijelaskannya dengan gamblang ketika ia ditanyai oleh Nafi’: “Hai Abu Abdurrahman, anda adalah putera Umar dan shahabat Rasulullah saw., dan anda adalah serta
anda . . .! Tetapi apa yang menghalangi anda bertindak?” — mak­sudnya membela Ali. Maka ujarnya:
“Sebabnya ialah karena Allah Ta’ala telah mengharamkan atasku menumpahkan darah Muslim! Firman-Nya ‘Azza wa Jalla:
Perangilah mereka itu hingga tak ada lagi fitnah dan hingga orang-orang beragama itu semata ikhlas karena Allah. (Q.S. 2 al-Baqarah: 193).
Nah, kita telah melakukan itu dan memerangi orang-orang musyrik, hingga agama itu semata bagi Allah! Tetapi sekarang apa tujuan kita berperang . . .? Saya telah mulai berperang semenjak berhala-berhala masih memenuhi Masjidil Haram dari pintu sampai ke sudut-sudutnya, hingga akhirnya semua itu dibasmi Allah dari bumi Arab … ! Sekarang, apakah saya akan memerangi orang yang mengucapkan “Lah ilaaha illallaah”, tiada Tuhan yang haq diibadahi melainkan Allah?”
Demikianlah logika dan alasan dari Ibnu Umar, dan demi­kianlah pula keyakinan dan pendiriannya! Jadi ia menghindari peperangan dan tak hendak turut mengambil bahagian padanya, bukanlah karena takut atau hal-hal negatif lainnya, tetapi adalah karena tak menyetujui perang saudara antara sesama ummat beriman, dan menentang tindakan seorang Muslim yang meng­hunus pedang terhadap Muslim lainnya.
Ibnu Umar menjalani usia lanjut dan mengalami saat-saat dibukakannya pintu keduniaan bagi Kaum Muslimin. Harta melimpah ruah,. jabatan beraneka ragam dan kehendak serta keinginan berkobar-kobar. Tetapi kemampuan mentalnya yang
luar biasa, telah merubah khasiat zamannya!
Masa yang penuh dengan segala macam keinginan, dengan fitnah dan harta benda itu, dirubahnyalah bagi dirinya menjadi suatu masa yang diliputi oleh zuhud dan keshalihan, kedamaian dan kesejahteraan yang dijalani oleh pribadi; tekun dan melindungkan diri ini dengan segala keyakinan, telah dibentuk dan ditempa oleh Agama Islam di masa-masa pertamanya yang gemilang dan tinggi menjulang itu, tidak tergoyahkan sedikit pun juga.
Dengan bermulanya masa Bani Umayah, corak kehidupan mengalami perubahan, suatu perubahan yang tak dapat dielak­kan. Masa itu boleh disebut sebagai masa kelonggaran dalam segala hal, kelonggaran yang tidak Baja sesuai dengan keinginan ­keinginan pemerintah, tetapi juga dengan keinginan-keinginan pribadi dan golongan.
Dan di tengah badai rangsangan masa yang terpukau oleh kelonggaran-kelonggaran itu, oleh hasil perolehan dan kemegah­annya, Ibnu Umar tetap bertahan dengan segala keutamaannya, tidak menghiraukan semuanya itu, dengan melanjutkan pengem­bangan jiwanya yang besar. Sungguh, ia telah berhasil menjaga tujuan mulia dari kehidupannya sebagai diharapkannya, hingga orang-orang yang semata dengannya melukiskannya sebagai berikut: “Ibnu Umar telah meninggal dunia, dan dalam keutama­an tak ubahnya ia dengan Umar”.
Bahkan ketika menyaksikan sifat dan akhlaqnya yang me­ngagumkan itu, mereka membandingkannya dengan Umar, yaitu bapaknya yang berpribadi besar, kata mereka:
“Umar hidup di suatu masa di mana banyak tokoh-tokoh yang menjadi saingannya, tetapi Ibnu Umar hidup di suatu zaman, di mana tidak ditemui yang menjadi tolak bandingannya … !”
Perbandingan itu terlalu berlebihan, tetapi dapat dima’afkan terhadap orang seperti Ibnu Umar . . . . Adapun Umar, tak seorang pun dapat disejajarkan dengannya. Tak mungkin ada bandingannya di setiap masa dari kaum mana pun juga!
Suatu hari dari tahun 73 H . . . , ketika sang surya telah condong ke Barat hendak memasuki peraduannya, salah sebuah kapal keabadian telah mengangkat jangkar dan mulai berlayar, bertolak menuju rafiqul a’la di alam barzakh, dengan membawa suatu sosok tubuh salah seorang tokoh teladan terakhir mewakili zaman wahyu di Mekah dan Madinah, yaitu jasad Abdullah bin Umar bin Khatthab.
Ditulis dan diedit ulang oleh : Wiwit Setiaji di Kamar Takmir NH UNS 28 Sept 2015 pukul 13.06
Sumber : Kisah 60 Sahabat Nabi , Penerbit : Ummul Quro

BILAL BIN RABAH MUADZIN RASULLULAH & LAMBANG PERSAMAAN DERAJAT MANUSIA

Bila disebut nama Abu Bakar, maka Umar akan berkata: “Abu Bakar adalah pemimpin kita, yang telah memerdekakan pemimpin kita”. Maksudnya ialah Bilal ….
seorang yang diberi gelar oleh Umar “pemimpin kita”, tentulah suatu pribadi besar yang layak memperoleh kehormatan seperti itu! Tetapi setiap menerima pujian yang ditujukan kepada dirinya, maka laki-laki yang berkulit hitam, kurus kerempeng, tinggi jangkung, berambut lebat dan bercambang tipis — sebagai dilukiskan oleh ahli-ahli riwayat — akan menundukkan kepala dan memejamkan mata, serta dengan air mata mengalir mem­basahi pipinya, akan berkata: “Saya ini hanyalah seorang Habsyi, dan kemarin saya seorang budak belian!”
Nah, siapakah kiranya orang Habsyi yang kemarin masih jadi budak belian ini … ? Itulah dia Bilal. bin Rabah, muaddzin Islam dan penggoncang berhala yang dipuja Quraisy sebagai tuhan! la merupakan salah satu keajaiban iman dan kebenaran! Salah satu mujizat Islam yang maka besar!
Dari tiap sepuluh orang, semenjak munculnya Agama itu sampai sekarang, bahkan sampai kapan saja dikehendaki Allah, kita akan menemukan sedikitnya tujuh orang yang kenal terhadap Bilal. Artinya dalam lintasan kurun dan generasi, terdapat jutaan manusia yang mengenal Bilal; hafal akan namanya dan tahu riwayatnya secara lengkap, sebagaimana mereka kenal akan dua Khalifah terbesar dalam Islam (Abu Bakar dan Umar).
Anda akan dapat menanyakan kepada setiap anak yang masih merangkak pada tahun-tahun pelajaran dasarnya; baik di Mesir, Pakistan, Indonesia atau Cina . . . di Amerika Utara, Amerika Selatan, Eropa dan Asia … di Irak, Syria, Turki, Iran dan Sudan . . . di Tunisia, Aljazair, dan Maroko … pendeknya di seluruh permukaan bumi yang didiami oleh Kaum Muslimin …. anda akan dapat menanyakan kepada setiap remaja Islam: “Siapakah Bilal itu, wahai buyung?” Tentulah akan keluar jawabannya yang lancar: “Ia adalah muaddzin Rasul. Asalnya seorang budak, yang disiksa oleh tuannya dengan batu pangs, agar ia meninggalkan Islam, tetapi jawabnya: “. . . Ahad … Ahad . . Allah Yang Maha Tunggal … Allah Yang Maha Tunggal … ! “
Dan setelah anda lihat keabadian yang telah dianugerahkan Islam kepada Bilal . . . , bahwa sebelum Islam, Bilal ini tidak lebih dari seorang budak belian; yang menggembalakan unta milik tuannya dengan imbalan dua genggam kurma! Tanpa Islam, pastilah ia takkan luput dari kenistaan perbudakan — sampai maut datang merenggutnya — setelah itu orang melupakannya….
Tetapi kebenaran iman dan keagungan Agama yang diyakini-nya telah meluangkan baginya dalam kehidupan dan riwayat hidup, suatu kedudukan tinggi pada deretan tokoh-tokoh Islam dan orang-orang sucinya . . .! Banyak di antara orang-orang terkemuka — golongan berpengaruh dan mempunyai harta —yang tidak berhasil mendapatkan agak sepersepuluh dari ke­haruman nama yang diperoleh Bilal si Budak Habsyi ini . . . ! ‘Bahkan tidak sedikit tokoh-tokoh sejarah yang tidak mencapai separoh kemasyhuran yang dicapai oleh Bilal!
Kehitaman warna kulit; kerendahan kasta dan bangsa, serta kehinaan dirinya di antara manusia selama itu sebagai budak belian, sekali-kali tidaklah menutup pintu baginya untuk me­nempati kedudukan tinggi yang dirintis oleh kebenaran, ke­yakinan, kesucian dan kesungguhannya setelah ia memasuki Agama Islam.
Semua itu adalah karena dalam neraca penilaian dan peng­hormatan yang diberikan kepadanya, tak ada perhitungan lain kecuali kekaguman; yakni ketika dijumpai kebesaran yang tidak terduga. Orang menyangka bahwa seorang hamba seperti Bilal, biasanya asal-usulnya tidak menentu; tidak berdaya dan tidak mempunyai keluarga, serta tidak memiliki suatu hak pun dari hidupnya. Dirinya adalah milik tuannya yang telah membeli dengan hartanya, dan kerjanya berada di tengah hewan ternak, pulang balik di antara unta dan domba tuannya. Menurut dugaan mereka, makhluq seperti ini takkan mampu melakukan sesuatu, atau menjadi sesuatu yang berarti!
Kiranya ia berbeda dengan spa yang disangka dan diper-kirakan itu. Karena ia mampu mencapai derajat keimanan yang tidak mungkin dicapai oleh lainnya …. lalu menjadi muaddzin pertama bagi Rasulullah dan Islam; suatu aural yang menjadi inceran bagi setiap pemimpin dan pembesar Quraisy yang telah masuk Islam dan menjadi pengikut Rasul.
Benar . . . , Bilal bin Rabah!
Corak kepahlawanan apakah, dan bentuk kebesaran manakah yang ditonjolkan oleh ketiga kata-kata ini, “Bilal bin Rabah .. .?” Ia seorang Habsyi dari golongan orang berkulit hitam. Taqdir telah membawa nasibnya menjadi budak dari Bani Jumah di kota Mekah, karena ibunya salah seorang hamba sahaya mereka.
Kehidupannya tidak berbeda dengan budak biasa. Hari­harinya berlalu secara rutin tapi gersang, tidak memiliki sesuatu pada hari itu, tidak pula menaruh harapan pada hari esok. Dan berita-berita mengenai Muhammad saw. telah mulai sampai ke telinganya, yakni ketika orang-orang di Mekah menyampaikan-nya dari mulut ke mulut. Juga ketika mendengar obrolan majikannya bersama tetamunya; terutama majikannya Umayah bin khalaf, salah seorang pemuka Bani Jumah, yaitu kabilah yang menjadi majikan yang dipertuan oleh Bilal.
Lamalah sudah didengarnya Umayah ketika membicarakan Rasulullah, baik dengan kawan-kawannya maupun sesama warga sukunya; mengeluarkan kata-kata berbisa; penuh dengan rasa amarah, tuduhan dan kebencian. Di antara apa yang dapat ditangkap oleh Bilal dari ucapan kemarahan yang tidak berujung ­pangkal itu, ialah sifat-sifat yang melukiskan Agama baru bagi­nya. Dan menurut hematnya, sifat-sifat itu merupakan hal-hal baru dipandang dari sudut lingkungan di mana ia tinggal. Sebagai­mana juga di antara ucapan-ucapan yang keras penuh ancaman itu, tapi pula kedengaran olehnya pengakuan mereka akan kemuliaan Muhammad saw., tentang kejujuran dan keterper­cayaannya …
Benar, didengarnya mereka ta’jub dan keheranan terhadap ajaran yang dibawa oleh Muhammad saw.! Sebagian mereka mengatakan kepada yang lain: “Tidak pernah Muhammad saw. berdusta atau menjadi tukang sihir . . . tidak pula sinting atau berubah akal . . . , walau kita terpaksa menuduhnya demikian, demi untuk membendung orang-orang yang berlomba-lomba memasuki Agamanya!”
Didengarnya mereka mempercakapkan kesetiaannya menjaga amanat . . . , tentang kejujuran dan ketulusannya – . . , tentang akhlaq dan kepribadiannya …. Didengarnya pula mereka ber­bisik-bisik mengenai sebab yang mendorong mereka menentang dan memusuhinya, yaitu: pertama kesetiaan mereka terhadap kepercayaan yang diwariskan nenek moyangnya; dan kedua kekhawatiran merosotnya kemuliaan Quraisy, kemuliaan yang mereka peroleh sebagai imbalan kedudukan mereka menjadi markas keagamaan, sebagai pusat ibadat dan upacara haji di serata jazirah Arab . . . , kemudian kedengkian terhadap Bani Hasyim, kenapa munculnya Nabi dan Rasul itu dari golongan ini dan bukan dari fihak mereka ..
Pada suatu hari, Bilal bin Rabah melihat Nur Ilahi dan mendengar imbauannya dalam lubuk hatinya yang suci murni. Maka ia mendapatkan Rasulullah saw. dan menyatakan keislam­annya. Dan tidak lama antaranya, berita rahasia keislaman Bilal terungkaplah …. dan beredar di antara kepala tuan-tuan­nya dari Bani Jumah, yakni kepala-kepala yang selama ini ditiup oleh kesombongan dan ditindih oleh kecongkakan . . . ! Maka setan-setan di muka bumi tampillah bermunculan dan bersarang dalam dada Umayah bin Khalaf, yang menganggap keislaman seorang hambanya sebagai tamparan pahit yang menghina dan menjatuhkan kehormatan mereka semua ….
Apa . . . ? Budak mereka orang Habsyi itu masuk Islam dan menjadi pengikut Muhammad . . . ? Walaupun demikian, tidak apa! kata Umayah dalam hatinya. “Matahari yang terbit hari ini takkan tenggelam dengan Islamnya budak durhaka itu … ! ” Memang, bukan saja sang surya itu tidak tenggelam dengan Islamnya Bilal, tetapi pada suatu hari kelak matahari akan tenggelam dengan membawa semua patung-patung dan pembela ­pembela berhala itu … !
Mengenai Bilal, tidak saja ia beroleh kedudukan yang me­rupakan kehormatan bagi Agama Islam semata — walau Islam memang lebih berhak untuk itu — tetapi juga merupakan ke­hormatan bagi perikemanusiaan umumnya … ! la telah menjadi sasaran berbagai macam siksaan sebagai dialami oleh tokoh-tokoh utama lainnya.
Seolah-olah Allah telah menjadikannya sebagai tamsil per­bandingan bagi ummat manusia, bahwa hitamnya warna kulit dan perbudakan, sekali-kali tidak menjadi penghalang untuk mencapai kebesaran jiwa, asal saja ia beriman dan taat kepada Tuhannya serta memegang teguh haq-haqnya ….
Bilal telah memberikan pelajaran kepada orang-orang yang semasa dengannya, juga bagi orang-orang di segala masa; bagi orang-orang yang seagama dengannya, bahkan bagi pengikut­ pengikut agama lain; suatu pelajaran berharga yang menjelaskan bahwa kemerdekaan jiwa dan kebebasan nurani, tak dapat dibeli dengan emas separuh bumi, atau dengan siksaan bagaimanapun dahsyatnya … !
Dalam keadaan telanjang ia dibaringkan di atas bara, dengan tujuan agar ia meninggalkan Agamanya atau mencabut pengakuannya, tetapi ia menolak ….
Maka budak Habsyi yang lemah tidak berdaya ini telah dijadikan oleh Rasulullah saw. dan Agama Islam sebagai guru bagi seluruh kemanusiaan dalam soal menghormati hati nurani dan mempertahankan kebebasan serta kemerdekaannya.
Pada suatu ketika, di tengah hari bulat; waktu padang pasir berganti rupa menjadi neraka jahannam, mereka membawanya ke luar, lalu melemparkannya ke pasir yang bagai menyala dalam keadaan telanjang, kemudian beberapa orang laki-laki meng­angkat batu besar panas laksana bara, dan menjatuhkannya ke atas tubuh dan dadanya ….
Siksaan kejam dan biadab ini mereka ulangi setiap hari, hingga karena dahsyatnya lunaklah hati beberapa orang di antara algojo-algojo yang menaruh kasihan kepadanya. Mereka berjanji dan bersedia melepaskannya asal saja ia mau menyebut nama tuhan-tuhan mereka secara baik-baik walau dengan sepatah kata sekalipun — tak usah lebih — yang akan menjaga nama baik mereka di mata umum, hingga tidak menjadi buah pembicaraan bagi orang-orang Quraisy bahwa mereka telah mengalah dan bertekuk lutut kepada seorang budak yang gigih dan keras kepala.
Tetapi, walau sepatah kata pun yang dapat diucapkan bukan dari lubuk hatinya, dan yang dapat menebus nyawa dan hidup­nya tanpa kehilangan iman dan melepas keyakinannya, Bilal tak hendak mengucapkannya … !
Memang, ditolaknya mengucapkan hal itu, dan sebagai gantinya diulang-ulanglah senandungnya yang abadi: “Ahad … ! Ahad . . .! Allah Yang Maha Tunggal . . . ! Allah Yang Maha Tunggal . . .!” Pendera-pendera itu pun berteriak, bahkan seakan­-akan hendak memohon kepadanya: “Sebutlah Lata dan ‘Uzza!” Tetapi jawabannya tidak berubah dari: “Ahad … ! Ahad … ! ” “Sebutlah apa yang kami sebut!”, pinta mereka pula. Tetapi dengan ejekan pahit dan penghinaan yang mena’jubkan ia men­jawab: “lidahku tak dapat mengucapkannya … ! “
Tinggallah Bilal dalam deraan panas dan tindihan batu, hingga ketika hari petang mereka tegakkan badannya dan ikat­kan tali pada lehernya, lalu mereka suruh anak-anak untuk meng­araknya keliling bukit-bukit dan jalan-jalan kota Mekah, semen­tara Bilal tiada lekang kedua bibirnya melagukan senandung sucinya: “Ahad. . .! Ahad. . .!”
Berat dugaan kita, bahwa bila malam telah tiba, orang-orang itu akan menawarkan padanya: “Esok, ucapkanlah kata-kata yang baik terhadap tuhan-tuhan kami, sebutlah: tuhanku Lata dan ‘Uzza . . . , nanti kami lepaskan dan biarkan kamu sesuka hatimu! Telah letih kami menyiksamu, seolah-olah kami sendirilah yang disiksa!” Tetapi pastilah Bilal akan menggeleng­kan kepalanya dan hanya menyebut: “Ahad … ! Ahad . ! “
Karena tak dapat menahan gusar dan amarah murkanya, Umayah meninju sambil berseru: “Kesialan apa yang menimpa kami disebabkanmu, hai budak celaka?! Demi tuhan Lata dan ‘Uzza, akan kujadikan kau sebagai contoh bagi bangsa budak dan majikan-majikan mereka!” Dengan keyakinan seorang Mu’min dan kebesaran seorang suci, Bilal menyahut: “Ahad … Ahad…
Orang-orang yang diserahi tugas berpura-pura menaruh kasih­an kepadanya, kembali membujuk dan mengajukan tawaran, katanya kepada Umayah: “Biarkanlah ia wahai Umayah! Demi Lata dan ‘Uzza! Mulai saat ini ia takkan disiksa lagi! Bilal ini anak buah kami, bukankah ibunya sahaya kami . . .? Nah, ia takkan rela bila dengan keislamannya itu nama kami menjadi ejekan dan cemoohan bangsa Quraisy . . .!”
Bilal membelalakkan matanya menentang para penipu dan pengatur muslihat licik itu, tetapi tiba-tiba ketegangan itu men­jadi kendur dengan tersunggingnya sebuah senyuman bagai cahaya fajar dari mulutnya. Dan dengan ketenangan yang dapat menggoncangkan dan mengarubirukan mereka, katanya: “Ahad…! Ahad . ! “
Waktu pagi hampir berlalu, waktu dhuhur dekat menjelang, dan Bilal pun dibawa orang ke padang pasir, tetapi tetap shabar dan tabah, tenang tak tergoyah. Sementara mereka menyiksanya, tiba-tiba datanglah Abu Bakar Shiddiq, serunya: “Apakah kalian akan membunuh seorang laki-laki karena mengatakan bahwa Tuhanku ialah Allah?!” Kemudian katanya kepada Umayah bin Khalaf: “Terimalah ini untuk tebusannya, lebih tinggi dari harganya, dan bebaskan ia … ! “
Bagai orang yang hampir tenggelam, tiba-tiba diselamatkan oleh sampan penolong, demikianlah halnya Umayah saat itu; hatinya lega dan merasa amat beruntung demi didengarnya Abu Bakar hendak menebus budaknya. la telah berputus asa akan dapat menundukkan Bilal. Apalagi mereka adalah orang-orang saudagar, dengan dijualnya Bilal mereka melihat keuntungan yang tidak akan diperoleh dengan jalan membunuhnya.
Dijualnyalah Bilal kepada Abu Bakar yang segera mem­bebaskannya, dan dengan demikian Bilal pun tampillah meng­ambil tempatnya dalam lingkungan orang-orang merdeka . . . . Dan ketika as-Shiddiq mengepit Bilal membawanya ke alam bebas, berkatalah Umayah: “Bawalah ia! Demi Lata dan ‘Uzza, seandainya harga tebusannya tak lebih dari satu ugia, pastilah ia akan kulepas juga!”
Abu Bakar ‘arif akan keputusasaan dan pahitnya kegagalan yang tersirat dalam ucapan itu, hingga lebih baik tidak di­layaninya.
Tetapi karena ini menyangkut kehormatan seorang laki-laki yang sekarang telah menjadi saudara yang tak berbeda dengan dirinya, maka jawabnya kepada Umayah: “Demi Allah, andainya kalian tak hendak menjualnya kecuali seratus ugia, pastilah akan kubayar juga!”
Kemudian pergilah Abu Bakar bersama shahabatnya itu kepada Rasulullah saw. dan menyampaikan berita gembira tentang kebebasannya, maka saat itu pun tak ubah bagai hari rays besar juga … !
Dan setelah Rasulullah saw. bersama Kaum Muslimin hijrah dan menetap di Madinah, beliau pun mensyari’atkan adzan untuk melakukan shalat. Maka siapakah kiranya yang akan men­jadi muaddzin untuk shalat itu sebanyak lima kali dalam sehari semalam . . . yang suara takbir dan tahlilnya akan berkumandang ke seluruh pelosok … ? Ialah Bilal . . . , yang telah menyerukan: “Ahad . . . ! Ahad . . . ! Allah Maha Tunggal . . . ! Allah Maha Tunggal . . .!” semenjak 13 tahun yang lalu, sementara siksaan membantai dan menyelai tubuhnya.
Pada hari itu pilihan Rasulullah jatuh atas dirinya sebagai muaddzin pertama dalam Islam. Dan dengan suaranya yang merdu dan empuk diisinya hati dengan keimanan dan telinga dengan keharuan, sementara seruannya menggemakan:
“Allahu Akbar. . . Allahu Akbar Allahu Akbar … Allahu Akbar Asyhadu allailaha illallah
Asyhadu allailaha illallah
Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah Hayya ‘alas shalah
Hayya ‘alas shalah
Hayya ‘alal falah
Hayya alai falah
Allahu Akbar.. . Allahu Akbar La ilaha illallah. . . “.
Antara Kaum Muslimin dan tentara Quraisy yang datang menyerang Madinah terjadi peperangan . . . . Pertempuran berkecamuk dengan amat sengit dan dahsyat . . . , sementara Bilal maju dan menerjang dalam perang pertama yang diterjuni Islam itu, yaitu Badar . . . , yang sebagai semboyannya dititahkan oleh Rasulullah menggunakan ucapan: “Ahad … ! Ahad … ! “
Dalam peperangan ini Quraisy mengerahkan tenaga intinya, dan pemuka-pemukanya terjun untuk akhirnya menemui tempat pembantaian mereka . . .! Pada mulanya Umayah bin Khalaf, yaitu bekas majikan Bilal yang telah menyiksanya secara kejam dan biadab, tak hendak ikut dalam peperangan itu. Tetapi demi mendengar keengganan dan sifat pengecutnya itu, maka salah seorang di antara kawannya yang bernama ‘Uqbah bin Abi With mendatanginya sambil di tangan kanannya membawa sebuah mijmar — pedupaan yang dipergunakan wanita untuk mengasapi tubuhnya dengan kayu wangi —.
Setelah sampai dan ia berhadapan muka dengan Umayah Yang ketika itu sedang duduk di tengah-tengah anak buahnya, ditaruhlah pedupaan itu di hadapannya seraya berkata: “Hai Abu Ali! Terimalah dan pergunakanlah pedupaan ini. Karena kamu tak lebih dari seorang wanita!”
“Keparat! apa yang kau bawa ini?, teriak Umayah dengan seramnya. Tetapi tak dapat mengelak terpaksa akhirnya ia turut dalam peperangan itu bersama kawan-kawannya ….
Amboi, rahasia taqdir apakah kiranya yang tersembunyi di balik peristiwa ini . . .? Uqbah bin Mu’ith adalah seorang yang paling gigih mendorong Umayah untuk melakukan siksaan terhadap Bilal dan orang-orang tak berdaya lainnya dari Kaum Muslimin Dan sekarang, ia pulalah yang mendesaknya
supaya ikut dalam Perang Badar, tempat ia akan menemui ajalnya . . .! Tetapi juga tempat tewasnya ‘Uqbah itu sendiri tanpa kecuali …
Mulanya Umayah keberatan dan enggan untuk ikut dalam peperangan . . . , dan kalau bukanlah karena desakan Uqbah dengan cara sebagai kita ketahui itu, tidaklah ia hendak meng­ambil bagian di dalamnya …
Tetapi rencana Allah pasti berlaku!
Umayah harus ikut. Ada piutang lama antara dirinya dengan salah seorang hamba Allah yang datang saatnya untuk diselesai­kan. Allah tak pernah mati, dan sebagaimana kalian memper­lakukan orang demikianlah pula kalian diperlakukan orang!
Dan taqdir ini gemar sekali mempermainkan orang sombong dan aniaya! Uqbah yang kata-katanya didengar oleh Umayah dan kemauannya untuk menyiksa orang-orang Mu’min yang tak berdosa diturutnya, justeru yang menyeretnya ke liang kubur … !
Kemudian di tangan siapakah Di tangan Bilal. . . , tidak lain di tangan Bilal sendiri! Tangan yang oleh Umayah dulu diikat dengan rantai, sedang pemiliknya didera dan disiksa.
Maka tangan inilah pula pada hari itu — ya’ni di waktu perang Badar — suatu saat yang tepat dan diatur oleh taqdir, yang telah menyelesaikan utang-piutang dan membuat per­hitungan dengan algojo-algojo Quraisy yang telah menimpakan penghinaan dan kedhaliman terhadap orang-orang Mu’min … ! Peristiwa ini terjadi secara sempurna, tanpa ditambah atau di­bumbui … !
Ketika pertempuran di antara dua pihak telah mulai, dan barisan Kaum Muslimin maju bergerak dengan semboyannya: “Ahad . ..! Ahad … !’,’maka jantung Umayah pun bagai tercabut dari urat akarnya dan rasa takut mengancam dirinya. . . Kalimat yang kemarin diulang-ulang oleh hambanya di bawah tekanan siksa dan dera, sekarang telah menjadi semboyan dari suatu Agama secara utuh, dan dari suatu ummat yang baru secara keseluruhan . . . ! “Ah ad ! Ahad . . .!” Demikianlah dan dengan kecepatan seperti ini . . . , serta pertumbuhan yang demikian besar … ?
Pertempuran telah berkecamuk dan pedang bertemu pedang
Ketika perang telah hampir usai, kelihatanlah oleh Umayah, abdurrahman bin ‘Auf, seorang shahabat Rasulullah saw. Maka segera ia melindungkan diri kepadanya, dan meminta untuk menjadi tawanannya; dengan harapan akan dapat menyelamatkan nyawanya ….
Permintaan itu dikabulkan oleh Abdurrahman yang bersedia melindunginya, dan di tengah-tengah hiruk-pikuknya perang dibawanyalah Umayah ke tempat orang-orang tawanan. Di tengah jalan ia kelihatan oleh Bilal, yang segera berseru: “Ini dia .. . gembong kekafiran, Umayah bin Khalaf! Biar aku mati daripada orang ini selamat … ! “
Sambil menyatakan itu diangkatlah pedangnya hendak memenggal kepala yang selama ini menjadi besar disebabkan kecongkakan dan kesombongan. “Hai Bilal, ia tawananku! ” seru Abdurrahman. “Tawanan – . . ? ” ujar bilal, ‘padahal pertempuran masih berkobar dan roda
peperangan masih berputar . . . ? ” la diterima sebagai tawanan . . . , padahal belum lama berselang senjatanya terhunjam di tubuh Kaum Muslimin yang sampai sekarang masih meneteskan darahnya … ? Tidak . . .! bagi Bilal itu artinya berolok-olok dan penindasan. Dan cukuplah selama ini Umayah berolok-olok dan melakukan penindasan. la telah menindas demikian rupa, hingga hari ini tak ada lagi kesempatan tersisa, dalam keadaan segawat ini . . . dalam akibat yang me­nentukan ini!
orang kafir, Umayah bin Khalaf … ! Biar aku mati daripada dia lolos … ! “
Berdatanganlah serombongan Kaum Muslimin dengan pedang penyebar maut di tangan mereka dan mengepung Umayah ber­sama puteranya — yang berperang di pihak Quraisy — sementara Abdurrahman bin Auf tak dapat berbuat apa pun, bahkan juga tidak dapat melindungi bajunya yang telah terkoyak-koyak oleh desakan orang banyak.
Bilal memandangi tubuh Umayah yang telah rubuh oleh tebasan pedang-pedang itu dengan lama sekali, kemudian ia bergegas meninggalkan tempat itu, sementara suaranya yang nyaring mengumandangkan: “Ahad … ! Ahad
Menurut hemat saya, bukanlah haq kita untuk membahas keutamaan toleransi dari pihak Bilal dalam suasana seperti itu …. Tetapi seandainya pertemuan antara Bilal dengan Uma­yah terjadi pada suasana lain, maka bolehlah kita meminta kepadanya agar memberi ma’af, yang tak mungkin ditolak oleh orang yang seperti Bilal keimanan dan ketaqwaannya.
Hanya sebagai kita ketahui, mereka bertemu di medan laga, masing-masing pihak mendatanginya dengan tujuan untuk menghancurkan pihak. lawannya . . . . Pedang dan tombak her­kelebatan … para korban berguguran – – – , dan maut merajalela berseliweran . . .! Tiba-tiba pada saat seperti itu Bilal melihat Umayah, yang tak sejengkal pun dari tubuhnya luput dari bekas kekejaman dan adzab siksa Umayah!
Lalu di manakah dan betapa tampak olehnya … ? Dilihatnya dalam kancah pertempuran; memenggal kepala Kaum Muslimin yang ditemui Umayah, dan seandainya ia beroleh kesempatan untuk memenggal kepala Bilal pada saat itu, tentulah tidak akan disia-siakannya! Nah, dalam keadaan seperti demikianlah kedua laki-laki itu berhadapan muka! Maka tidaklah adil me­nurut logika, bila kita bertanya kepada Bilal, kenapa ia tak hendak memberi ma’af dengan sebaik-baiknya . . .!
Hari-hari berlalu . . . dan Mekah dibebaskan . . . . Dengan mengepalai sepuluh ribu Kaum Muslimin, Rasulullah memasuki kota itu, bersyukur dan mengucapkan takbir. Beliau langsung menuju Ka’bah yang telah dipadati berhala oleh Quraisy dengan jumlah bilangan hari dalam setahun, ialah tidak kurang dari 360 buah berhala. Yang benar telah datang, hancur luluhlah kebathilan ….
Mulai hari itu tak ada lagi Lata . ‘Uzza … atau. Hubal
, dan semenjak itu manusia tidak lagi menundukkan kepala­nya kepada batu atau berhala – . . , dan tak ada lagi yang mereka puja sepenuh hati kecuali Allah yang tak ada tara atau banding­an-Nya; Tuhan yang Maha Tunggal lagi Esa, Maha Tinggi dan Maha Besar ….
Rasulullah memasuki Ka’bah dengan membawa Bilal sebagai teman . . .! Baru saja masuk, beliau telah berhadapan dengan sebuah patung pahatan, menggambarkan Ibrahim ‘alaihissalam sedang berjudi dengan menggunakan anak panah. Rasulullah amat murka, sabdanya:
“Semoga mereka dihancurkan Allah! Tak pernah nenek moyang kita melakukan perjudian demikian . . .. Dan Ibrahim itu bukanlah seorang yahudi, bukan pula seorang nasrani, tetapi seorang yang beragama suci dan seorang Muslim, dan sekali-kali bukan dari golongan musyrik “.
Rasulullah menyuruh Bilal naik ke bagian atas masjid untuk mengumandangkan adzan. Maka Bilal pun adzanlah . . ‘ dan amboi . . . , alangkah mengharukan saat itu, tempat itu dan suasana kala itu … ! Gerakan kehidupan di Mekah terhenti, dan dengan jiwa yang satu, ribuan Kaum Muslimin dengan hati khusyu’ dan secara berbisik mengulangi kalimat demi kalimat yang diucapkan Bilal.
Orang-orang musyrik di rumahnya masing-masing hampir tak percaya dan bertanya-tanya dalam hatinya:
— Inikah dia Muhammad dengan orang-orang miskinnya yang
kemarin terusir meninggalkan kampung halamannya … ?
— Betulkah dia, yang mereka usir, mereka perangi, dan mereka bunuh keluarga yang paling dicintainya serta kerabat yang paling dekat kepadanya … ?
— Dan betulkah dia, yang beberapa saat yang lalu, nyawa mereka berada di tangannya, memaklumkan kepada mereka: “Pergilah kalian . . . , kalian semua bebas … !”
Tiga orang bangsawan Quraisy sedang duduk-duduk di pekarangan Ka’bah. Mereka tampak terpukul menyaksikan panorama itu, yaitu ketika Bilal menginjak-injak berhala-berhala mereka dengan kedua telapak kakinya, kemudian di atas rerun­tuhannya yang telah hancur luluh, menyenandungkan suara adzannya yang berkumandang di seluruh pelosok Mekah yang tak ubahnya bagai tiupan angin di musim bunga ….
Ketiga orang itu ialah: Abu Sufyan bin Harb — yang telah masuk Islam beberapa saat yang lalu — dan ‘Attab bin Useid serta Harits bin Hisyam — kedua mereka belum lagi masuk Islam —. Sementara matanya tertuju kepada Bilal yang sedang menyuarakan adzan, ‘Attab berkata: “Sungguh Useid dimuliakan Allah, ia tidak mendengar sesuatu yang amat dibencinya!” Berkata pula Harits: “Demi Allah, seandainya saya tahu bahwa Muhammad saw. itu di pihak yang benar, pastilah saya paling dahulu akan mengikutinya . . .! Sedang Abu Sufyan yang di­plomat itu menukas pembicaraan kedua shahabatnya dengan katanya: “Saya tak hendak mengatakan sesuatu, karena se­andainya saya berkata pastilah akan disebarkan oleh kerikil­ kerikil ini!”
Ketika Nabi saw. meninggalkan Ka’bah tampaklah mereka olehnya, lalu dalam sekejap waktu dibacanya wajah-wajah mereka. Kemudian dengan kedua matanya yang bersinar dengan Nur Hahi, sabdanya kepada mereka: “Saya tahu apa yang telah kalian katakan tadi . . …. Lalu diceriterakannyalah apa yang mereka katakan itu. Maka Harits dan ‘Attab pun berseru: “Kami menyaksikan bahwa anda adalah Rasulullah. Demi Allah tak seorang pun mendengarkan pembicaraan kami, hingga kami dapat menuduh bahwa ia telah menyampaikannya kepada anda … !”
Sekarang mereka menghadapi Bilal dengan pandangan baru
. Dalam lubuk hati mereka bergema kembali kalimat-kalimat yang mereka dengar dalam pidato Rasulullah sewaktu mula-mula masuk Mekah.
Hai golongan Quraisy . . Allah telah melenyapkan daripada kalian kesombongan jahiliyah dan kebanggaan dengan nenek moyang… , Manusia itu dari Adam …. sedang Adam dari tanah … !
Bilal melanjutkan hidupnya kini bersama Rasulullah saw. dan ikut mengambil bagian dalam semua perjuangan bersenjata yang dialaminya. la tetap menjadi muaddzin, menjaga serta menye­marakkan syi’ar Agama besar ini, yang telah membebaskan dari kegelapan kepada cahaya, dari perbudakan kepada kemer­dekaan … !
Kedudukan Agama Islam semakin tinggi, demikian pula halnya Kaum Muslimin, taraf dan derajat mereka ikut naik; dan Bilal semakin lama semakin dekat di hati Rasulullah saw. yang menyatakannya sebagai “seorang laki-laki penduduk surga”.
Tetapi sikapnya tidak berubah, tetap seperti biasa; mulia dan besar hati, yang selalu memandang dirinya tidak lebih dari “seorang Habsyi yang kemarin menjadi budak belian”.
Pada suatu hari ia pergi meminang dua orang wanita untuk diperisterikannya dan diperisterikan saudaranya, maka katanya kepada bapa wanita itu: “Saya ini Bilal, dan ini saudaraku, kami berasal dari budak bangsa Habsyi. . . . Pada mulanya kami berada dalam kesesatan kemudian diberi petunjuk oleh Allah, dahulu kami budak-budak belian lalu dimerdekakan oleh Allah
. . . . Jika pinangan kami anda terima alhamdulillah — segala puji bagi Allah, dan seandainya anda tolak, maka Allahu Akbar, Allah Maha Besar … !
Rasulullah saw. pergi meninggalkan alam fana dan .naik ke rafiqul a’la dalam keadaan ridla dan diridlai, dan penanggung jawab Kaum Muslimin sepeninggal beliau dibebankan di atas pundak khalifahnya Abu Bakar as-Shiddiq
Bilal pergi mendapatkan khalifah Rasulullah, menyampaikan isi hatinya.
Wahai Khalifah Rasulullah, saya mendengar Rasulullah bersabda:
Aural orang Mu’min yang utama adalah berjihad fi sabi­lillah.
“Jadi apa maksudmu, hai Bilal?” tanya Abu Bakar. “Saya ingin berjuang di jalan Allah sampai saya meninggal dunia”, ujar Bilal. “Siapa lagi yang akan menjadi muaddzin bagi kami?”, tanya Abu Bakar pula. Dengan air mata berlinang Bilal men­jawab: “Saya takkan menjadi muaddzin lagi bagi orang lain setelah Rasulullah”. “Tidak” kata Abu Bakar, “tetaplah tinggal di sini hai Bilal, dan menjadi muaddzin kami!” Jawab Bilal pula: “seandainya anda memerdekakan saya dulu adalah untuk ke­pentingan anda, baiklah saya terima permintaan anda itu. Tetapi bila anda memerdekakan saya karena Allah, biarkanlah diri saya untuk Allah sesuai dengan maksud baik anda itu!” “Tak lain saya memerdekakanmu itu, hai Bilal, semata-mata karena Allah!”
Kemudian mengenai kelanjutannya terjadi perbedaan pen­dapat di antara para ahli riwayat. Sebagian meriwayatkan bahwa ia pergi ke Syria dan menetap di sana sebagai pejuang dan mujahid. Sementara menurut lainnya, ia menerima permintaan Abu Bakar untuk tinggal bersamanya di Madinah. Kemudian setelah Abu Bakar wafat dan Umar diangkat sebagai khalifah, barulah Bilal minta idzin dan mohon diri kepadanya, lalu berangkat ke Syria.
Bagaimanapun juga, Bilal telah menadzarkan sisa hidup dan usianya untuk berjuang menjaga benteng-benteng Islam di perbatasan, dan membulatkan tekadnya untuk dapat menjumpai Allah dan Rasul-Nya, sewaktu ia sedang melakukan aural yang paling disukai oleh keduanya . . . . Dan suaranya yang syandu, dalam dan penuh wibawa itu, tidak lagi mengumandangkan adzan seperti biasa. Sebabnya ialah karena demi ia membaca “Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah “, maka kenangan lama­nya bangkit kembali, dan suaranya tertelan oleh kesedihan, digantikan oleh cucuran tangis dan air mata ….
Adzannya yang terakhir, ialah ketika Umar sebagai Amirul Mu’minin datang ke Syria. Orang-orang menggunakan kesem­patan tersebut dengan memohon kepada khalifah untuk meminta Bilal menjadi muaddzin bagi satu shalat saja. Amirul Mu’minin memanggil Bilal; ketika waktu shalat telah tiba, maka diminta­nya ia menjadi muaddzin.
Bilal pun, naik ke menara dan adzanlah . . . . Shahabat­ shahabat yang pernah mendapati Rasulullah di waktu Bilal menjadi muaddzinnya sama-sama menangis mencucurkan air mata, yang tak pernah mereka lakukan selama ini …. sedang yang paling keras tangisnya di antara mereka ialah Umar …
Bilal berpulang ke rahmatullah di Syria sebagai pejuang di jalan Allah seperti diinginkannya. Dan di bawah bumi Damsyiq, sekarang terpendam kerangka dan tulang-belulang suatu pribadi yang besar di antara pribadi-pribadi manusia, yang amat teguh dan tangguh pendiriannya dalam mempertahankan ‘aqidah dan keimanan ….
Semoga Rahmat dan Karunia Allah melimpah ruah kepada Bilal dan kepada kita semua
Ditulis dan diedit ulang oleh : Wiwit Setiaji di Kamar Takmir NH UNS 28 Sept 2015 pukul 13.01
Sumber : Kisah 60 Sahabat Nabi , Penerbit : Ummul Quro